Ricky nggak bohong pasal kondisi badannya yang terasa sakit pada Hao, tapi Ricky jelas berbohong saat berkata sakit yang dirasakannya cuma sedikit kalau pada kenyataannya menggerakkan tangan untuk meraih alarm handphone di nakas samping kirinya merupakan hal yang sulit untuk dilakukan.
Gimana nggak? Ditarik paksa saat menunggu anteng di halte depan perpustakaan hingga seluruh badannya tersungkur di muka jalan nggak mungkin membuat dirinya baik-baik aja.
Sebenernya ini bukan sesuatu yang bikin Hao heran lagi, karena seperti apa yang dia bilang sebelumnya, Ricky selalu dikerjai semesta kalau lagi nggak ada di dalam pantauannya. Seolah-olah laki-laki jangkung berambut pirang itu adalah samsak empuk yang seru untuk diikutsertakan ke dalam sebuah peristiwa yang jarang dialami oleh manusia normal pada umumnya. Entah udah berapa kali Hao menyembunyikan banyak rahasia pada Papa Ricky tentang apa yang terjadi pada anaknya setiap hari.
Baru Ricky mau menutup matanya lagi, berniat mengistirahatkan diri hingga malam menjemput hari, dering bel rumah terdengar nyaring berbunyi. Bersamaan dengan itu, notifikasi handphone Ricky berdenting enam kali.
Siapa pula, sih?
Oh?
Ricky mengernyitkan kening di saat isi kepalanya sibuk menghubungkan titik satu ke titik yang lain agar menjadi suatu kesatuan yang masuk akal. Dia nggak bakal seheran ini kalau sebelumnya nggak ada perang dingin antara dirinya dengan Gavin — yang sebenernya juga Ricky rasakan selama tiga hari belakangan.
Ricky nggak sebodoh itu buat menyadari mengapa pesan penolakan yang ia kirim waktu itu cuma dibaca aja sama Gavin. Karena setelah adanya pesan itu, Gavin sama sekali nggak muncul di hadapannya — sekali pun cuma rohnya yang menggerayangi sekitaran komplek sini.
Ricky juga nggak sebodoh itu buat menyadari kalau pesan itu cukup offensive. Siapa pun bakal sakit hati karena satu kalimat yang terlanjur dikirim tanpa dipikir berkali-kali, membuatnya seperti manusia paling tersakiti di seluruh dunia. Tapi memang yang namanya ego, tetap menang di atas segalanya.
“Kenapa lo nggak tinggal sama Bang Hao aja sih, Ky? Seenggaknya selama bokap nyokap lo nggak di sini,” tanya Gavin seraya tangannya sibuk membuka plastik yang isinya bubur dalam kotak styrofoam. Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Gavin setelah Ricky mempersilakannya masuk ke ruang tamu beberapa menit yang lalu.
Baru mau dijawab, Gavin melanjutkan omongannya, “nggak usah dijawab kalau pertanyaannya bikin lo nggak nyaman dan bikin kita jadi jauh lagi.”
Gavin masih sibuk mengurusi bubur yang sengaja ia beli waktu jalan menuju kemari. Niat baiknya ini didasari perasaan khawatir kalau teman — bukan, maksudnya cowok menyebalkan yang baru dikenal beberapa hari ini ada apa-apanya. Tak dipungkiri ternyata semua asumsi yang ada di kepalanya benar-benar terjadi selepas melihat wajah pucat Ricky yang sedari tadi diam saja memperhatikan gerak-gerik Gavin sembari duduk di sofa single.
“Lo ke sini beneran mau ngurusin gue, ya? Perhatian banget, sih.” tanya Ricky, bangkit dari kegiatan menonton Gavin yang sibuk sendiri. Menuju dapur, Ricky kembali bertanya, “mau minum apa? Air putih aja deh, ‘kan gue lagi sakit.”
Gavin menatap kepergian Ricky nyalang dan mendengus. Kalau di dalam kartun, mungkin ekspresi yang dibuatnya sekarang ada puppy’s ear dan ekor yang bergerak-gerak karena sebal. “Gue ke sini karena mau ke rumah Bang Hao, tuh! Jangan geer.”
Dentingan suara gelas terdengar nyaring dari dapur seiring dengan Ricky yang tertawa terbahak di sana. Yah, terserah, deh, mau dianggap gimana sama yang lagi sakit. Seenggaknya dengan begini Gavin bisa lebih lega karena dalam kondisi seperti ini Ricky masih sempat untuk menjadi orang yang menyebalkan.